“Menjaga Jembatan yang Dipersatukan Allah”
Di sebuah desa kecil, ada jembatan kayu tua yang melintasi sungai berair jernih. Jembatan itu dibangun puluhan tahun lalu oleh sepasang suami istri yang tinggal di tepi sungai. Konon, jembatan itu bukan sekadar sarana menyeberang, melainkan simbol cinta mereka. Setiap papan kayu dipasang dengan telaten, setiap ikatan tali dipilih dengan hati-hati. Mereka percaya, selama jembatan itu berdiri kokoh, hubungan mereka akan tetap kuat.
Namun, seiring waktu, papan kayu mulai lapuk. Hujan dan panas mengikis kekuatannya. Tali pengikat mulai kendor. Orang-orang di desa berkata bahwa jembatan itu tak akan bertahan lama jika tidak segera diperbaiki. Sayangnya, pasangan itu sudah jarang datang bersama ke jembatan. Mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Dan pada suatu musim hujan yang deras, satu papan kayu terlepas—lalu yang lain menyusul. Jembatan pun runtuh.
Bacaan Injil hari ini (Mat. 19:3-12) mengingatkan kita akan pesan Yesus yang tegas: “Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” Perkawinan, dalam pandangan Yesus, bukan sekadar kontrak sosial atau kesepakatan pribadi. Ia adalah panggilan suci, ikatan yang dipatri oleh Sang Pencipta sendiri. Sama seperti jembatan kayu di desa itu, ikatan pernikahan harus dijaga, dirawat, dan diperkuat setiap hari.
Orang Farisi datang kepada Yesus dengan pertanyaan tentang perceraian, mencoba menjebak-Nya. Namun, Yesus mengembalikan pandangan mereka ke rencana Allah “pada awal mula”: laki-laki dan perempuan diciptakan untuk menjadi satu daging. Perceraian, kata Yesus, terjadi “karena ketegaran hati.” Kata-kata ini mengusik kita: mungkinkah keretakan dalam hubungan berawal dari hati yang mulai mengeras—hati yang enggan mengalah, enggan mendengar, enggan mengampuni?
Di dunia yang serba cepat ini, komitmen mudah terkikis oleh ego, tuntutan pekerjaan, atau godaan mencari kenyamanan pribadi. Banyak pasangan lupa bahwa hubungan bukanlah sesuatu yang berjalan otomatis. Ia seperti jembatan: jika tidak pernah diperiksa, diperkuat, dan diperbaiki, ia akan lapuk.
Yesus tidak hanya berbicara kepada pasangan yang menikah. Pesan-Nya juga menyentuh setiap bentuk relasi: persahabatan, keluarga, komunitas. Semua ikatan yang lahir dari kasih perlu kesetiaan dan perawatan. Ketegaran hati bisa meruntuhkan jembatan itu, tapi kerendahan hati, pengampunan, dan kasih—itulah papan dan tali yang membuatnya kokoh kembali.
Mungkin saat ini ada “jembatan” dalam hidup kita yang mulai retak: hubungan dengan pasangan, sahabat, atau bahkan hubungan kita sendiri dengan Tuhan. Injil hari ini adalah undangan untuk memeriksa, memperbaiki, dan menjaga. Karena apa yang telah dipersatukan Allah, sejatinya dipanggil untuk bertahan—tidak hanya melewati waktu, tapi juga menjadi saksi kasih yang hidup.
Refleksi Pribadi:
Apakah saya sedang merawat jembatan yang Tuhan percayakan kepada saya, atau membiarkannya lapuk tanpa perhatian?
Doa:
Tuhan, ajarlah aku untuk setia merawat setiap ikatan kasih yang Engkau anugerahkan. Lunakkan hatiku yang keras, kuatkan tekadku untuk menjaga, dan jadikan setiap relasi yang kumiliki sebagai jembatan yang membawa orang lain semakin dekat kepada-Mu. Amin.
0 Komentar