Selamat Datang di Confreria Reinha Rosari Larantuka

MENGAPA ORANG KRISTEN MAKAN DAGING BABI?

MENGAPA ORANG KRISTEN MAKAN DAGING BABI?




Matahari belum tinggi ketika Romo Mikael tiba di Desa Lamalela, sebuah desa kecil di lereng bukit yang dikelilingi oleh rimbunan pohon kemiri. Hari itu, beliau dijadwalkan memimpin ibadat dan melakukan kunjungan pastoran, sekaligus bersilaturahmi dengan umat yang sudah lama menanti.

Ibadat berlangsung khusyuk di kapela sederhana yang dibangun dari kayu dan beratapkan seng. Sesudah misa selesai dan umat saling bersalaman, beberapa tokoh masyarakat mengundang Romo Mikael makan siang bersama di rumah kepala dusun.

Meja panjang dari bambu telah dipenuhi aneka hidangan lokal: ubi rebus, sayur daun pepaya, sambal lu'at, dan yang paling mencolok—daging babi bakar yang aromanya menggoda. Tawa dan canda pun mengiringi kebersamaan mereka.

Namun, saat semua tengah menikmati makan siang, seorang pemuda bernama Yanto yang duduk di ujung meja tiba-tiba angkat bicara.

“Romo, saya boleh tanya sesuatu?” katanya dengan nada ragu.

“Tentu, silakan Yanto,” jawab Romo sambil meletakkan sendoknya.

“Dalam kitab Imamat 11:7 dikatakan bahwa babi itu najis dan tidak boleh dimakan. Tapi kenapa kita orang Kristen makan ya, padahal kan itu juga firman Tuhan?”

Semua yang hadir mendadak hening. Pertanyaan Yanto menggantung di udara seperti bau asap dari tungku yang belum padam.

Romo Mikael tersenyum. Ia mengambil sepotong daging babi dari piringnya, mengangkatnya, dan berkata, “Yanto, pertanyaanmu bagus. Tapi untuk menjawabnya, kita harus memahami bahwa dalam Taurat, atau Hukum Musa, ada tiga jenis hukum yang Tuhan berikan kepada bangsa Israel.”

Ia menunjuk ke udara dengan tiga jari.

“Pertama, hukum moral.”

“Hukum ini mengatur tentang hal yang benar dan salah secara universal. Contohnya adalah Sepuluh Perintah Allah: jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri. Hukum ini berlaku untuk semua orang, di segala zaman, karena mencerminkan karakter Tuhan yang kudus dan adil.”

Ia lalu menekuk satu jari.

“Kedua, hukum sipil.”

“Ini adalah hukum yang mengatur kehidupan sosial bangsa Israel sebagai negara. Contohnya, jika ada orang kedapatan berzinah, maka ia harus dirajam. Jika anak membangkang, ia bisa dihukum mati.Hukum sipil ini  diperuntukan bagi kehidupan bermasyarakat bangsa Israel zaman itu.”

Jari ketiga menekuk.

“Ketiga, hukum seremonial atau hukum upacara.”

“ Hukum ini yang paling sering disalahpahami. Hukum seremonial atau hukum upacara  ini mengatur tentang tata cara umat Israel beribadah, termasuk aturan tentang binatang yang boleh dan tidak boleh dimakan. Misalnya, aturan tentang persembahan korban, penyucian, hari raya, dan makanan seperti daging babi.”

Romo mengambil segelas air putih.

“Sekarang dengarkan baik-baik. Dari ketiga hukum itu, hanya hukum moral yang tetap berlaku selamanya. Hukum sipil tidak berlaku karena kita tidak lagi hidup dalam sistem pemerintahan Israel kuno. Lalu bagaimana dengan hukum seremonial atau hukum upacara? Hukum seremonial atau hukum upacara itu hanya berlaku sementara, sampai Yesus datang.”

Kemudian dia mulai memberikan sebuah analogi sederhana tentang hukum upacara.

“Bayangkan, ada seorang anak kecil yang belum bisa makan makanan keras. Ibunya memberinya bubur dan hanya memperbolehkannya minum susu. Ia dilarang makan nasi, daging, dan kerupuk karena belum saatnya. Namun, ketika anak itu tumbuh dewasa, larangan itu dihapus. Bukan karena nasi atau daging itu jahat, tapi karena pada waktu itu si anak belum siap untuk menerimanya. Tapi ketika sudah besar dan tubuhnya kuat, ia bisa makan apa saja.”

Romo meletakkan potongan dagingnya dan melanjutkan, “Begitu juga dengan umat Allah di zaman Perjanjian Lama. Tuhan memberikan banyak aturan, termasuk larangan memakan daging babi. Tapi larangan itu termasuk dalam hukum upacara—aturan yang dibuat untuk membentuk bangsa Israel secara rohani dan sosial, agar mereka berbeda dari bangsa lain saat itu.

Tapi ketika Yesus datang, semua hukum upacara itu disempurnakan dan ditutup. Dia sendiri berkata bahwa yang menajiskan bukanlah apa yang masuk ke mulut, tetapi apa yang keluar dari hati. Markus 7:19 menyatakan bahwa Yesus menyucikan semua makanan.”

Ia menoleh kepada Yanto, “Artinya, larangan makan daging babi itu tidak lagi berlaku bagi kita, karena Yesus sudah menggenapinya. Dalam Roma 14:14, Rasul Paulus bilang: ‘tidak ada sesuatu pun yang najis pada dirinya sendiri.’ Dan dalam Kolose 2:16, kita diajak untuk tidak membiarkan siapa pun menghakimi kita soal makanan dan minuman.”

Romo tersenyum lebar. “Jadi makan daging babi ini bukan soal najis atau tidak, tapi soal bagaimana hati kita kepada Tuhan. Kalau daging babi ini dimakan dengan penuh rasa syukur, itu justru akan menjadi berkat.”

Yanto mengangguk-angguk, dan wajahnya yang tadinya bingung kini mulai cerah. Ia tertawa kecil dan berkata, “Wah, kalau begitu, saya tambah daging babi lagi ya, Romo!”

Semua pun tertawa, dan makan siang itu kembali hangat. Tak hanya perut yang kenyang hari itu, tetapi juga iman yang diteguhkan.

0 Komentar